motorcyle

motorcyle
my vixion

Minggu, 09 Maret 2014

Wisata Religi provinsi Riau

Kota Pekanbaru
Mesjid Agung An-Nur
Mesjid Agung An Nur berdiri tanggal 27 Rajab 1388 H atau bertepatan dengan tanggal 19 Oktober 1968, Masjid Agung An-Nur diresmikan oleh Arifin Ahmad, Gubernur Riau waktu itu dan tahun 2000 pada masa gubernur Saleh Djasit mesjid ini direnovasi secara besar-besaran.
Masjid Agung An-Nur Riau yang kita saksikan begitu megah saat ini bukanlah bangunan asli hasil pembangunan tahun 1966 dan diresmikan tahun 1968. Tapi merupakan bangunan hasil renovasi total dan pembangunan kembali dari masjid Agung An-Nur yang lama. Di pergantian milenium tahun 2000 lalu, pada saat Riau dibawah kepemimpinan gubernur Shaleh Djasit, Masjid Agung An-Nur yang lama di rombak total ke bentuknya saat ini.
Dari pembangunan tahun 2000 tersebut luas lahan masjid ini bertambah tiga kali lipat dari sebelumnya yang hanya seluas 4 hektar menjadi 12.6 hektar. Luasnya lahan masjid baru ini memberikan keleluasaan bagi penyediakan lahan terbuka untuk publik Pekanbaru termasuk di dalamnya kawasan taman nan hijau dan lahan parkir yang begitu luas.
Dalam sejarahnya Masjid Agung An-Nur pernah menjadi kampus bagi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Syarif Kasim Pekabaru di awal pendiriannya hingga tahun 1973. IAIN Sultan Syarif Kasim kini Menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) Pekanbaru .


 Kabupaten Kampar



Candi Muara Takus
Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad keempat, ada yang mengatakan abad ketujuh, abad kesembilan bahkan pada abad kesebelas. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.

Kabupaten Rokan Hilir
Kota Bagan Siapi-api

 Ritual Bakar Tongkang
 Ritual bakar tongkang adalah ritual tahunan etnis Tionghoa di Bagan Siapi-api, Riau. Ritual ini untuk mengenang para leluhur yang menemukan Kota Bagan Siapi-api dan wujud syukur terhadap Dewa Kie Ong Ya dan Dewa Tai Su Ong. Jangan lewatkan acara ini!

Ritual ini bermula ketika pada tahun 1826, ada sekitar 18 orang Tionghoa merantau dari Provinsi Fu-Jian, China. Mereka berlayar menggunakan 3 kapal kayu yang disebut tongkang. Di tengah perjalanan, dua tongkang tenggelam. Tongkang yang selamat akhirnya sampai di suatu tempat  yang saat itu masih berupa hutan.

Mereka melihat cahaya api yang berkerlap-kerlip sebagai tanda adanya daratan. Cahaya api itu ternyata berasal dari kunang-kunang (Si Api-api) yang bertebaran di antara hutan bakau yang tumbuh subur di tepi pantai. Di daerah yang tidak bertuan ini, mereka akhirnya mendarat dan membangun tempat pemukiman baru yang kemudian dikenal dengan nama Bagan Siapi-api.

Adapun kata bagan sendiri mengandung makna sebagai tempat, daerah, atau alat penangkap ikan. Di dalam tongkang yang selamat itu terdapat patung dewa laut Ki Ong Ya dan Tai Su Ong. Ritual ini diadakan pada tanggal 16 bulan kelima lunar setiap tahunnya atau dalam bahasa Hokkien disebut dengan Go Cap Lak. Go berarti bulan kelima dan Cap Lak berarti tanggal enam belas.

Kota yang berada di barat daya Riau ini pernah mengalami masa jaya sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia sehingga dijuluki sebagai kota ikan. Namun, kejayaan perikanan di Bagan Siapi-api lambat laun meredup. Oleh sebab itu, satu abad setelah mendaratnya mereka di Bagan Siapi-api,  warga Tionghoa di Kabupaten Rokan Hilir menggelar ritual bakar tongkang untuk menghormati dua dewa itu yang jadi perlambang keselamatan dalam mengembara.

Dewa Ki Ong Ya dan Tai Su Ong juga dipercaya sebagai dewa yang melambangkan dua sisi kehidupan, sisi baik-sisi buruk, suka-duka, serta rezeki-bencana. Berdasarkan kebiasaan, masyarakat Tionghoa akan membuat replika tongkang berukuran 8x2 meter. Sebelum dibakar, tongkang tersebut diarak terlebih dahulu keliling Bagan Siapi-api. Warga Bagan Siapi-api menyambut perayaan ini dengan memasang lampion dan lukisan Dewa di rumah masing-masing.

Setelah diarak, replika tongkang dibawa ke Klenteng Ing Hok King, sebuah tempat ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah kota. Perlu Anda diketahui bahwa kelenteng ini dianggap paling sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan tetap utuh saat terjadi kerusuhan massal pada 1998 silam.

Mereka memanjatkan doa-doa kepada Dewa, agar kegiatan Bakar Tongkang diberkahi, selalu diberi keselamatan dan dilancarkan segala urusan. Para warga Tionghoa secara keseluruhan mengikuti prosesi saat tongkang tersebut diarak ke tanah lapang sebelum dibakar. Iring-iringan juga diwarnai aksi para Tan Ki, yang memiliki kekuatan dengan memukul-mukul tubuh menggunakan parang dan batu yang diselimuti paku. Digelar juga panggung hiburan yang mendatangkan penyanyi-penyanyi dari Taiwan, Malaysia dan Singapura yang membawakan lagu berbahasa Hokkian.

Keesokan harinya, barulah kapal diarak warga dalam sebuah pawai dan dibakar. Di sekeliling kapal, ditumpuk ribuan kertas kuning berisi doa yang ditulis para warga. Puncak prosesi ritual Bakar Tongkang adalah menyaksikan jatuhnya tiang layar replika kapal tongkang. Berdasarkan kepercayaan warga Tionghoa Bagan Siapi-api, kedua tiang yang disakralkan itu jika jatuh menghadap laut diartikan sebagai tongkat ikan. Warga Tionghoa percaya peruntungan di tahun tersebut akan banyak berasal dari laut. Tetapi jika jatuhnya ke darat maka peruntungan banyak berasal dari darat.

Secara spiritual, acara ini mengandung makna ucapan rasa syukur atas suksesnya para leluhur yang membawa keluarga mereka menetap di daerah perantauan. Tak heran jika orang Tionghoa yang menetap di luar negeri pasti langsung merasa terpanggil untuk “pulang kampung” demi merayakan tradisi tahunan ini. Sebab ada kepercayaan bila tidak ikut ambil bagian dalam acara ini, maka akan ada malapetaka yang terjadi.

Ritual tahunan ini telah menjadi agenda wisata bagi pemerintah Kabupaten Rokan Hilir sebagai bagian dari program Visit Indonesia karena mampu menyedot wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga China.
Kabupaten Siak


Mesjid Sultan 
Mesjid ini dibangun pada masa Raja Hamidah Engku Putri (1784 – 1805), istri dari Sultan Mahmudsyah, yang pada zamannya adalah Penguasa Riau. Pada dasarnya Pulau Penyengat Indera Sakti dibangun menjadi negeri oleh Sultan Mahmudsyah sebagai mahar perkawinannya dengan Raja Hamidah Engku Putri.

Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat selalu diberi warna Kuning – Hijau, karena Kuning melambangkan Kerjaan, yang mana pada masanya Pulau Penyengat Indera Sakti adalah Pusat Kerajaan Riau Lingga. Dan Hijau yang berarti Islam. Warnanya yang kuning mencolok menjadikan bangunan ini langsung terlihat dari dermaga panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Tak hanya Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat yang diberi warna Kuning – Hijau, melainkan semua bangunan-bangunan tua peninggalan Kerajaan Riau Lingga yang ada di pulau tersebut.

Masjid Raya Sultan Riau Penyengat ini memiliki tiga belas kubah dan empat menara setinggi sembilan belas meter. Jika jumlah kubah dan menara dijumlahkan, maka hasilnya adalah tujuh belas yang mana merupakan penunjuk jumlah bilangan rekaat salat dalam satu hari.

Masjid Raya Sultan Riau ini ditetapkan sebagai masjid pertama yang memakai kubah pada atapnya. Satu hal yang sangat berbeda jika kita berada di dalam Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat yaitu bangunannya yang kedap suara dan dapat meredam gema.

Makam Maruhum Buatanan

Pendiri Kerajaan Siak adalah Sultan Abdul Djalil Rakhmadsyah bergelar Raja Kecil dengan pusat kerajaan di Buantan. Beliau gigih berjuang membela kehormatan dalam merebut kembali kekuasaan ayahandanya di Johor yang kemudian dapat diperolehnya kembali. Beliau wafat tahun 1745 dan dimakamkan di Buantan dengan gelar Marhum Buantan. Kini Makam Marhum Buantan merupakan obyek wisata religi yang banyak dikunjungi wisatawan dan dapat dicapai dengan kendaraan air dari Siak Indragiri selama 15 menit dengan mengendarai speed boat 25 pk.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kirim commenter sebyak-banyak nya agar anda dapat memperoleh tiket pesawat pulang balik liburan ke bali